Cerita Dibalik Sajak Muncak

Salam hangat untuk semua,

Alhamdulillahi Rabbil'alamin, Allahumma Shalli 'ala Muhammad Wa 'ala Ali Muhammad.

Pernahkah sobat mendaki? Apakah kalian punya hobi mendaki? Pernahkah sobat berkeinginan untuk mendaki gunung sekali seumur hidup? Artikel ini tidak akan menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas melainkan pertanyaan diatas berhubungan dengan pengalamanku tentang sebuah peristiwa pendakian sebuah gunung yang menginspirasiku dalam membuat puisi atau sajak yang berjudul Sajak Muncak. Baca sampai akhir ya sobat, lumayan seru kok! menurutku sih hehe.

Pertama-tama, sobat pembaca setia yang selalu aku tunggu-tunggu kedatangannya sudah baca belum tentang sajakku yang berjudul Sajak Muncak itu? Kalau belum silahkan baca dan jangan lupa berikan tanggapan nya ya. ^_^

Ceritanya begini . . .

    Saat itu aku masih kuliah, semester lima, di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga (Sekarang Institut Agama Islam Negeri Salatiga (IAIN Salatiga)) di jurusan Tadris Bahasa Inggris (TBI). Aku mempunyai teman-teman nongkrong yang sering kudatangi kos-kosannnya untuk sekadar menunggu jam kuliah sore atau sekadar berkumpul nongkrong setelah habis semua mata kuliah di hari itu. Kami biasa menghabiskan waktu dengan ngopi bersama, nonton film, chit-chat, diskusi masalah tugas, mengerjakan tugas individu maupun kelompok, dan lain sebagainya. Kadangkala kami juga rutin futsal seminggu sekali.

    Singkat kata, waktu itu bulan September dan bulan-bulan sebelumnya di tahun 2013 telah mewabah trend muncak atau pendakian di seluruh Indonesia dengan melejitnya film ‘5 cm’ yang berasal dari novel best seller dengan judul yang sama. Film tersebut menceritakan lima sahabat yang telah lama bersahabat kemudian bereuni setelah beberapa bulan berpisah dan berencana liburan bersama dengan mendaki Gunung Semeru. Film ini begitu terkenal saat itu karena menampilkan aktor dan aktris terkenal seperti Fedi Nuril, Raline Shah, Pevita Pearce, Junot dan Saykoji. Pemandangan-pemandangan indah khas Pegunungan Semeru yang saat itu belum banyak muncul di jagat perfilman Indonesia juga turut andil membuat film ini terkenal. Hal ini lah yang membuat aku pribadi, teman-teman nongkrongku dan mungkin kebanyakan orang menjadi suka dengan film tersebut dan tumbuh benih cinta akan alam pegunungan.

    Aku lupa siapa yang menggagas pertama kali ide ini tapi yang pasti saat itu di awal bulan September di musim kemarau, musim yang tepat untuk naik gunung, tepatnya tanggal 8 hari Sabtu kami sepakat untuk muncak dengan tujuan Gunung Merbabu sebagai target pendakian kami. Gunung Merbabu termasuk gunung yang tinggi di Jawa Tengah. Gunung ini memiliki ketinggian 3142 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sayangnya ide ini datang mendadak sehingga membuat persiapan kami begitu kurang.

    Kami saat itu berlima, ada Aku, Wahyu, Faza, Rizki, dan Fahmadin. Kami semua satu semester dari satu angkatan yang sama dan juga sekelas saat semester satu. Aku tidak tahu persis saat itu seberapa banyak pengalaman mereka tentang muncak namun sepertinya kami semua sama, sama-sama pemula yang terlalu percaya diri. (-_-) Bisa dibilang kami agak ceroboh dalam persiapan karena kurang riset dan kurang tahu kondisi gunung yang sebenarnya. Barang dan persiapan yang kami bawa hanya tas biasa bukan tas carrier, beberapa botol besar air mineral, sejumlah mie gelas ukuran sedang, beberapa sachet kopi, dan jaket maupun pakaian hangat lainnya serta barang-barang pribadi. Kami juga minim senter saat itu, kalau tidak salah saat itu cuma 3 senter yang dibawa.

cerita dibalik among us
Dari kiri ke kanan; Aku, Fahmadin, Faza, Rizki, Wahyu.

    Kami berangkat dari Salatiga sore hari kemudian sampai di Basecamp Cuntel ketika Matahari sudah mulai senja. Basecamp Cuntel terletak di dusun Cuntel, Desa Kopeng, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Setelah sampai kami bergegas memarkir motor, menitipkan helm dan mendaftarkan diri kami serta membayar sejumlah uang fee. Aku lupa berapa jumlahnya namun cukup murah bila dibandingkan gunung lain yang lebih terkenal semisal Gunung Merapi dan Lawu. Setelah semua itu selesai di depan basecamp kami sempatkan untuk berdoa sebelum akhirnya memulai langkah pendakian.

Pendakian Dimulai.

    Awal-awal kami melewati beberapa rumah-rumah penduduk yang lalu diteruskan melewati kebun-kebun warga. Saat melintasi kebun itulah kami mendapati Matahari terbenam. Sebuah pemandangan yang indah. Mula-mula kami begitu semangat berjalan namun lambat laun kami pun mulai kelelahan bahkan ketika beberapa meter dari kebun-kebun tersebut kami sudah kepayahan hehe. Namun semangat kami untuk mencapai tempat yang lebih tinggi masih tinggi sehingga setelah menenggak beberapa air dan menata ritme detakan jantung, kami pun melanjutkan pendakian.

    Setapak demi setapak terlewati, hawa dingin pun mulai datang beserta kelaparan yang mulai menerpa. Senter kami bagi satu utk didepan, satu ditengah dan satu belakang. Aku saat itu berposisi di belakang, Faza berada di depanku disusul dengan Wahyu dan Fahmadin serta Rizki di paling depan. Orang yang mendaki pakai senter saja kadangkala bisa terpeleset apalagi kami yang minim pencahayaan, bisa di bayangkan sendiri gimana rasanya hehe.

    Di setiap tanah yang agak lapang yang kami temui di jalan pasti kami sempatkan untuk beristirahat barang sejenak. Karena kami saat itu belum tahu tentang mini gas dan mini kompor maka setiap istirahat agak lama kami berusaha mencari beberapa ranting dan kayu kering untuk membuat api unggun kecil sebagai penghangat badan. Sebenarnya api unggun adalah hal yang dilarang di kebanyakan gunung begitu pula di Gunung Merbabu karena ditakutkan dapat menyebabkan kebakaran dan kami tahu akan hal ini maka setiap selesai beristirahat pasti api akan dimatikan secara sempurna sampai ke bara-baranya. Bahkan kami sempat mengencingi juga sisa api unggun itu demi memastikan lagi hehe.

    Lagi, lagi dan lagi saking minimnya peralatan yang kami bawa saat ingin memasak mie gelas pun kami kebingungan. Kami tidak membawa satupun wadah untuk memasak. Namun kami tak habis akal, salah seorang dari kami ada yang mengusulkan untuk memakai botol mineral sebagai wadah. Jadi, karena terpaksa dan tidak ada cara lain digunakanlah cara itu. Kami potong di tengah botol itu lalu kami gunakan kedua hasil potongan untuk selanjutnya di isi air dan ditempatkan ke bagian pinggir tumpukan api unggun yang apinya kecil lalu kami tunggu sampai mendidih. Tak lama kemudian air mendidih dan air panas pun dibagi-bagi ke tiap-tiap mie gelas kami. Hmmm rasanya begitu nikmat menikmati panasnya mie gelas di kedinginan gunung dengan di terangi cahaya api unggun bersama sahabat-sahabat paling nekat wkwk. Setelah kenyang, perjalanan pun di lanjutkan dan tidak lupa pula untuk mengencingi api unggun hehe. Kalau tidak salah kami istirahat makan ini tepat beberapa puluh meter sebelum pos dua.

    Setelah sampai pos tiga disini hawa dingin benar-benar menusuk karena rimbunnya pohon-pohon yang melindungi dari angin malam telah hilang. Hanya pohon-pohon kecil yang terletak berjauhan beserta semak-semak yang menemani. Namun api semangat kami tetap berkobar meski mulai redup sih hehe. Jalan lagi deh akhirnya. Mungkin karena kami melihat sebuah puncak di depan mata jadi semangat kami tetap ada. Ya walaupun akhirnya ini bukanlah puncak yang sebenarnya tapi kami tetap berusaha untuk mencapainya. Jujur pas momen ini aku merasa begitu dingin bahkan ujung tangan dan kepalaku mulai terasa perih saking dinginnya. Aku sendiri juga salah karena tidak memakai kaos tangan dan penutup kepala jadi sampi sedingin ini. Tapi akhirnya aku pinjam sarungnya Fahmadin untuk menutupi kepala dan ujung tangan kumasukkan kantong jaket.

Sampai di Puncak Harapan.

    Akhirnya puncak itu tercapai. Yang aku sebut puncak ini sejatinya adalah Pos Pemancar. Kenapa pemancar? Karena di bagian pos ini berdiri tegak stasiun pemacar relay dan sebuah bangunan yang sudah terbengkalai. Pos ini berada di ketinggian 2.896 mdpl. Disini juga terdapat banyak batu-batu besar. Saat sampai disini waktu menunjukkan jam 1 dinihari lebih. Kami telah kehilangan tenaga disini. Aku sendiri sebenarnya masih ingin lanjut namun sebagian besar dari mereka sudah kelelahan dan tidak mau lagi lanjut. Akhirnya kami putuskan untuk sampai disini saja.

    Dan terjadi lagi, (-_-) sudah aku katakan kan di awal cerita bahwa kami tidak bawa tenda maka tersiksalah kami disini. Menunggu pagi tanpa adanya pelindung dari angin-angin malam yang semakin pagi semakin menusuk tulang. Rasa kantuk juga semakin bertambah. Beragam cara kami coba untuk sekadar mencari tempat terbaik untuk tidur. Pertama kami coba cek ke gedung terbengkali di samping tower namun ternyata didalamnya telah ada sebuah tenda. Kedua, Kami coba duduk-duduk dan tiduran di bawah tower sambil makan snack tetap belum nyaman. Ketiga, berjalan agak menjauh kedepan, karena jalanan turun kami pikir angin akan sedikit berkurang. Memang si berkurang tapi tidak ada tempat sama sekali untuk berbaring bahkan jalan semakin sempit serta di kelilingi batu-batu. Disini kami coba untuk tidur sambil menempel ke batu-batu itu berharap mampu terhindar dari angin tapi apadaya semakin lama kami disitu batupun semakin terasa dingin. Terlebih lagi posisi berbaring yang tidak karuan membuat tidak nyenyak untuk tidur.

    Setelah beberapa lama tiduran di bebatuan, aku dan Fahmadin tidak tahan. Akhirnya aku dan dia sepakat untuk membuat api unggun lagi. Lalu, kami bergegas mencari bahan untuk dibakar. Tas ku yang berat ku tinggalkan, badan rasanya seperti mendapat tenaga baru. Semak-semak kering aku ambil, ranting kering juga, sampah plastik yang ada juga ku ambil, namun sayang kami tidak dapat menemukan kayu kering yang sempurna untuk menjadi bara sehingga api unggun ini hanya bertahan beberapa waktu.

    Ketika api cukup besar, aku bangunkan ketiga temanku yang lain yang masih tergeletak di sela-sela bebatuan itu. Ada yang tertidur pulas, ada pula yang tidak bahkan ada yang menggigil kecil seingatku. Ku bangunkan mereka dan ku ajak mendekati api. Kami semua menghadapkan badan dan telapak tangan ke arah api unggun demi secuil kehangatan. Namun seperti yang sudah kubilang di atas, api unggun ini hanya bertahan sebentar saja karena kurangnya kayu kering serta angin yang cukup banyak. “Lumayan.” Kataku dalam hati.

    Ketika api unggun mulai benar-benar padam, hawa dingin menyerang begitu cepat. Kali ini waktu sudah menunjukkan sekitar jam tiga pagi. Kami masih ngantuk dan mulai tidak kuat dengan dinginnya angin yang semakin kencang saja. Ketika kami ingin kembali ke bebatuan tadi, batu-batu itu sudah dingin seperti es. Akhirnya kami pasrah tidur di rerumputan bercampur semak-semak yang tingginya kira-kira 40-50 cm. Awalnya kami enggan tidur disini karena letak semak-semak yang berada di pinggir-pinggir dan seperti menjadi pembatas antara tanah lapang dengan tanah curam. Cukup menakutkan bagi kami yang belum berpengalaman. Akan tetapi setelah mencoba tidur di semak-semak itu dengan hati-hati ternyata hasilnya begitu memuaskan, tidak terkira nyamannya dibandingkan tidur di bebatuan dan tanah. Aku berkata dalam hati “Ternyata malah hangat disini kenapa tidak dari tadi coba”. Akhirnya kami bisa tertidur dengan lebih nyaman kali ini yang paginya nanti kami akan disambut Matahari pagi yang bersinar terang penuh kehangatan. ^_^

cerita dibalik among us
Sedang menunggu Matahari terbit.

Inspirasi Datang.

    Setelah panjang lebar, sekarang aku akan sedikit menceritakan hal-hal yang mendorongku dalam menulis ‘Sajak Muncak’. Pertama, karena ke-ngenes-an kami saat mencari tempat untuk tidur sampai-sampai tidur dengan menggigil menjadi kesan pertamaku dari pendakian ini. Kedua, ketika memandang langit. Karena masih musim kemarau maka langit di sepanjang perjalanan kami mendaki sangat lah bersih dari awan, sehingga bulan tampak tidak punya malu dengan terangnya menyinari kami dalam remang-remang yang saat itu seperti senter ke-empat untuk kami. Tentu saja aku bersyukur dengan hal ini. Ketiga, saking cerahnya, bintang-bintang terhampar di langit begitu indahnya.

    Berikut sedikit gambaran betapa indahnya langit saat itu. Aku sering kali menatap ke atas ke arah langit ketika berbaring dan mata belum mampu terpejam karena dinginnya angin. Bulan yang terang terlihat seperti memiliki cincing terang di sekelilingnya. Bintang-bintang dan Planet-planet memenuhi langit. Meskipun aku tidak hapal gugus bintang atau ciri-ciri planet namun lukisan langit ini seakan mengobati kelelahanku. Ku pikir teman-temanku yang lain juga merasakannya.

    Di saat aku menikmati langit itu lah aku teringat kepada Sang Pencipta. Dia lah yang menciptakan keindahan yang luar biasa ini. Aku teringat ilmu-ilmu tentang astronomi yang kudapat di bangku sekolahan dulu. Aku ingat bahwa Bumi adalah bagian kecil sekecil debu dari besarnya sebuah Galaksi Bimasakti. Aku ingat bahwa aku sedang berada di sebuah planet yang diketahui dengan pasti sampai saat ini mampu mendukung adanya kehidupan. Kemudian aku tersadar betapa kecilnya diriku di luasnya alam semesta ini. Bahkan ketika melihat pemandangan lampu-lampu Kota Salatiga dari Pos ini pun aku merasa kecil apalagi dibandingkan bintang-bintang disana yang terlihat kecil tapi sejatinya begitu besar yang bahkan ada bintang yang besarnya berkali-kali lipat dari Matahari kita. Tak terbayangkan kecilnya.

    Akhinya di akhir-akhir puisi aku tuliskan kekaguman ku atas Kuasa Allah dan ketidak berdayaanku di hadapan-Nya yang menciptakan kami semua. Speechless sebenarnya saat di momen tersebut, yang mampu berkata hanya hati. Puisi ini bahkan aku tulis setelah beberapa hari dari kegiatan muncak itu karena aku masih terbayang-bayang betapa indahnya langit malam itu.

Penutup.

    Jadi, begitulah catatan cerita di balik puisi berjudul Sajak Muncak karyaku ini. Kepanjangan ya hehe. aku harap tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Ya sobat tahu lah mana yang bermanfaat dan mana yang kurang persiapan kayak kami :D. Kredit untuk sahabat-sahabat tergokilku, kalian memang joss wkwkwk. Lain kali penulis bakal bagikan lagi cerita penulis naik gunung, ada yang di Gunung Merapi, Lawu, Prau, Ungaran, ada juga yang di Merbabu lagi. Di jamin tidak kalah seru kok dibanding cerita ini tadi. Tunggu saja ya. ^_^

Komentar